krisis di Ukraina telah memprovokasi berbagai reaksi yang kompleks di
seluruh Asia. India, yang memiliki hubungan yang semakin erat, telah
mendukung Rusia. China, mitra Rusia dalam Organisasi Kerjasama Shanghai,
telah pernah mengalami posisi yang lebih rumit.
China tidak bertindak apa-apa ketika pertemuan Dewan Keamanan PBB di
New York City menghadapi jalan buntu mengenai penyusunan resolusi atas
krisis tersebut pada tanggal 15 Maret.
"China tidak setuju untuk berkonfrontasi," juru bicara Kementerian
Luar Negeri China, Qin Gang, menyatakan setelah dilakukan voting, kantor
berita resmi Xinhua melaporkan.
Rusia menggunakan hak vetonya sebagai salah satu dari lima Anggota
Tetap Dewan Keamanan PBB untuk memblokir konsep resolusi yang disusun
oleh Amerika Serikat dan didukung oleh negara-negara Barat. Resolusi itu
menyatakan bahwa referendum 16 Maret yang diatur oleh Rusia mengenai
status Krimea "tidak memiliki keabsahan" dan menyerukan organisasi
nasional dan internasional untuk tidak mengakuinya.
“Voting atas konsep resolusi Dewan Keamanan pada saat ini hanya akan
menyebabkan konfrontasi dan lebih mengacaukan situasi, yang tidak sesuai
dengan kepentingan umum rakyat Ukraina dan komunitas internasional,"
kata Qin.
China selalu menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua
negara, kata Qin. Ini sudah lama menjadi prinsip kebijakan luar negeri
yang mendasar dari pemerintah Beijing.
“Dalam situasi saat ini, kami menyerukan kepada semua pihak untuk
tetap tenang dan mengendalikan diri demi menghindari ketegangan yang
semakin runcing," kata Qin.
“Menurut berita Xinhua, "China mengambil sikap yang objektif dan adil
mengenai masalah Ukraina," kata Liu JIeyi, perwakilan tetap China untuk
PBB, kepada Dewan Keamanan, menurut Xinhua.
India: Rusia memiliki 'kepentingan yang sah' di Ukraina
Bertentangan dengan tindakan China yang tidak memihak, pemerintah
India tidak ragu-ragu mendukung pengambil-alihan Rusia atas Krimea.
“India yakin Rusia memiliki ‘kepentingan yang sah'
di Ukraina – suatu sikap yang berlawanan dengan pihak barat atas krisis
terbaru di Krimea. Yang justru menarik adalah, China menentang
intervensi Rusia di Krimea, yang menyimpang dari dukungannya selama ini
kepada Moskow di Dewan Keamanan PBB,” The Times of India melaporkan
tanggal 8 Maret.
Kementerian Luar Negeri India mengeluarkan pernyataan tanggal 13
Maret yang mengungkapkan keprihatinan atas "’ketegangan yang terus
meningkat, khususnya mengenai kehadiran 5.000 lebih warga India,
termasuk sekitar 4.000 pelajar, di berbagai belahan Ukraina.”
“Memang ada keabsahan Rusia dan kepentingan lain yang terkait, dan
kami berharap semuanya dibahas dan diselesaikan," kata Penasihat
Keamanan Nasional, Shivshankar Menon kepada The Times of India.
'Triangulasi' China ingin menghindari benturan dengan A.S.
Pendekatan China yang hati-hati terhadap krisis ini ditentukan oleh
kelanjutan hubungan dagang dan investasi yang dekat dengan Amerika
Serikat, kata Ralph Winnie, direktur program China di Eurasian Business
Coalition, kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF].
“Pemerintahan Presiden Xi [Jinping] seperti para pendahulunya selama
35 tahun silam, mengukuhkan legitimasinya dari keberhasilannya yang
berkelanjutan dalam mempertahankan dan meninggikan standar kehidupan di
China. Oleh karena itu, kondisi global yang stabil secara berkelanjutan
untuk pertumbuhan ekonomi, minat investasi internasional dan hubungan
stabil berkelanjutan dengan Amerika Serikat tetap merupakan prioritas
yang ditaati," katanya.
“Oleh karena itu, China secara tulus ingin agar krisis internasional
yang mengancam ini secepatnya diselesaikan secara damai dan mereka juga
ingin menghindari perpecahan dengan Rusia, sama seperti yang mereka
inginkan untuk mempertahankan hubungan dengan Amerika Serikat," katanya
kepada APDF.
Posisi "triangulasi" China ini untuk menghindari bentrok dengan Washington sekaligus menghindari perpecahan terbuka dengan Moskow, sudah diketahui di seluruh Asia.
Dalam tulisannya untuk surat kabar Malaysia, The Star pada
tanggal 16 Maret, Bunn Nagara, rekan senior di Institute of Strategic
and International Studies [ISIS] Malaysia berargumentasi bahwa hal ini
bahkan mengesampingkan perbandingan dengan keprihatinan keamanan
nasional dalam negeri China.
“Pemahaman yang berat sebelah ini telah menimbulkan harapan naif,
bahwa China akan lebih berpihak kepada US/EU melawan Rusia di Dewan
Keamanan PBB. Asumsinya adalah, bahwa Beijing tidak ingin di China
terjadi perpecahan seperti di Krimea," tulis Nagara.
Moderasi Beijing mengungkapkan bahwa “etos China sudah berubah,” tulis analis Rowan Callick, di surat kabar The Australian tanggal 13 Maret.
“Hingga tingkat kisaran-luas yang luar biasa, China … terlibat secara
ekonomi, dan bahkan secara sosial, dengan dunia pada umumnya, melalui
perdagangan, penelitian, investasi reksadana dan keingintahuan budaya,"
tulisnya.
Callick mengidentifikasi pusat dilema untuk China dalam menentukan posisinya atas Krimea dan Ukraina.
“Langkah Ukraina menyulitkan Beijing, tentu saja, karena sudah lama
China secara keras menolak semua intervensi dalam urusan dalam negeri
negara lain, dan tindakan penyerbuan tersebut pasti masuk ke dalam
kategori itu," tulisnya.
China juga prihatin bahwa, jika Rusia semakin berani dengan
pengambil-alihan Krimea, Rusia mungkin akan mencoba memperoleh kembali
kekuasaan lamanya, dan berdiri dalam limpahan semangat republik Soviet
terdahulu di Asia Pusat dengan mengorbankan Beijing, Callick
memperingatkan.
"Sebagian besar daratan terkurung 'Stans' dari Asia Tengah, yang
sebagian besar pernah menjadi satelit Rusia, terakhir melalui Uni
Soviet, sebagian besar juga sangat bergantung pada produksi energi."
“Akankah perebutan Krimea menambah nilai output mereka, atau mungkin
menggoda Moskow untuk memperkuat pengaruhnya atas mereka, dalam
persaingan dengan Beijing?” tanyanya. “Mungkinkah perkembangan peristiwa
di Ukraina akan juga menginspirasi unsur perpecahan dan nasionalis
dalam 'stans', dan Rusia mungkin lebih bersedia mempertimbangkan
permintaan untuk menanggapi permohonan pertolongan? Pasti akan ada
masalah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar